Orang bilang bahwa zaman sekarang
adalah zaman yang serbadigital. Nyaris semua hal diwarnai atau terkait dengan
digital. Secara sosial-budaya, era ini setidaknya ditandai dengan realitas
untuk menghadapi kondisi VUCA: Vitality (dinamis dan cepat berubah), Uncertainty
(sulit diprediksi), Complexity (rumit), dan Ambiguity (membingungkan penuh
paradoks). Dulu anak belajar cukup dengan sarana buku pelajaran dan alat tulis
yang ada. Sarana ini sudah dirasa cukup untuk mendukung kebutuhan anak dalam
menghadapi pelajaran yang ada. Namun kini tren edutech (education technology)
telah memberi pilihan baru mengenai cara belajar anak dan menawarkan perubahan
radikal mengenai konsep belajar. Ruangguru, Zenius --untuk memberi contoh
beberapa lembaga edutech, dan berbagai perusahaan startup serupa, menawarkan
pola belajar baru melalui gawai. Dengan pendekatan digital, kahadiran bermacam
edutech tersebut menyasar dengan tepat target dan kecenderungan pangsa mereka:
anak-anak yang selalu terkoneksi dengan dunia digital dan sangat tergantung
pada gawai mereka menjadi mudah mengenal dan terlayani kebutuhan mereka dalam
belajar dengan berbagai layanan pendidikan, menjadi persis layaknya
"guru" digital.
Kondisi ini menjadi penanda
perkembangan baru pola pembelajaran. Melihat kapitalisasi industri startup
teknologi pembelajaran ini, jelas tidak bisa diremehkan dari sisi statistik
penggunaan dan trafik penggunaan. Dikemas sedemikian rupa agar menjadi teman
terdekat bagi siswa dalam waktu luang dan belajar mereka, edutech membangun kontestasi
serius terhadap pola pembelajaran kovensional. Hal ini sekaligus memberi
tantangan tersendiri terhadap makna pembelajaran, karena, sebagaimana yang
disinyalir banyak pemikir teknologi dan budaya pembelajaran, semakin intens
siswa berinteraksi dengan dunia digital --meski untuk kepentingan studi mereka
sekalipun, maka semakin dimungkinkan anak-anak akan menjauh dan meninggalkan
buku, dan bisa jadi dalam beberapa hal adalah sosok pengajar. Sifat internet
yang mendekatkan diri pada gudang informasi sekaligus distraktif (memisahkan
diri) dari lingkup sosial penggunanya menjelaskan dengan baik mengenai fenomena
ini.
Internet dan dunia digital pada
umumnya akhirnya memang berkelindan dengan sikap dan cara pandang individu
terhadap realitas di sekitarnya. Dengan demikian, penting melihat dan
mendudukkan fenomena serbadigital tersebut dalam kaitannya dengan proses
pembelajaran dan karakterisktik individu yang terlibat didalamnya.
Karakteristik Gen Z
Dalam persepektif generation
theory, anak-anak tersebut dikenal sebagai Generazi Z yang disusul kemudian
dengan Generasi Alpha. Kedua generasi ini telah dengan sangat baik terlayani
dan mengenal teknologi digital. Jika Gen Z telah mengenal gawai untuk
setidaknya mendukung belajar mereka dan sarana bersosialisasi, maka Gen A telah
mengenal gawai (gadget) bahkan sebelum mereka mampu membaca. Gen Z dalam
persektif generation theory adalah mereka yang saat ini berusia kurang dari 17
tahun. Generasi ini adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan mulai dari
Ibtidaiyah hingga Aliyah. Secara psikologis, inilah usia yang tengah
berkembang, intens membangun dan mencari jati diri, dan seringkali penuh
gejolak.
Lalu seperti apa karakter gen
jenis ini? Menurut David dan Jonah Stillman (2018) setidaknya ada tujuh
karakteristik Gen Z. Pertama, Figital. Generasi ini telah memberi batasan yang
nyaris tidak terlihat antara yang fisik dan digital sebagai akibat dari
intensitas serbaterkoneksi di antara dua hal tersebut. Kedua,
Hiper-kustomisasi. Karakter ini mendorong Gen Z untuk menyesuaikan apapun yang
ada di sekitarnya sesuai keinginan mereka, sesuai ciri khas yang mereka maui.
Ketiga, Realistis. Generasi Z adalah mereka yang terdorong untuk memiliki sikap
tidak suka bertele-tele dan menyatakan apa adanya. Keempat, FOMO (Fear of Missing
Out). Gen Z sangat menghindari situasi out of date, mereka adalah generasi yang
menuntut diri mereka sendiri untuk selalu terhubung dengan berbagai informasi
dan perkembangan yang ada sesuai minat yang mereka maui, entah pada sains,
entertainment, budaya pop, musik, olahraga dan lain lain. Tidak heran jika
booming dududu yang dibawakan blackpink, misalnya, dengan cepat bisa sampai ke
anak-anak di daerah pelosok sekalipun. Kelima, Weconomist. Generasi ini telah
akrab dengan ekonomi berbagi yang menjadi penanda zaman. Keenam, DIY, do it
yourself. Kecenderung ini mendorong Gen Z menjadi individu-individu yang
tertantang untuk menyelesaikan masalah dan tantangan dengan diri mereka
sendiri. Ketujuh, Terpacu. Generasi Z adalah generasi yang banyak belajar dari
perjuangan, keberhasilan, dan kegagalan millenialssehingga mereka dipandang
sebagai kelompok yang sangat terpacu untuk membuat lompatan ke depan dengan
segera.
Pertanyaannya kemudian, dimana
menemukan ketujuh asumsi tersebut dalam realitas pendidikan Islam? Ternyata
tidak sulit melacaknya. Setidaknya pada buku Generasi Milenial Madrasah, Profil
30 Siswa Madrasah Inspiratif 2017, kita bisa menemukan 30 siswa madrasah
berprestasi dari berbagai daerah. Ke-30 siswa itu dalam banyak hal
merepresentasikan kecenderungan Gen Z sebagaimana tersebut diatas. Motivasi dan
inisiasi progresif yang pada akhirnya menelurkan banyak karya inspiratif
terutama sekali lahir dari ketekunan mendalam. Pilihan pilihan tidak biasa dan
cenderung eksentrik yang mengantarkan para siswa mendapat panggung di dalam dan
luar negeri adalah wujud lain dari kecenderungan untuk do it yourself dan
hiper-kostumisasi. Percayalah, disamping keterbatasan ruang tulis, data yang
ada dalam buku tersebut adalah semacam kondisi pars pro parte; masih banyak
siswa dan insan pendidikan Islam pada umumnya yang mencatatkan diri pada aras
prestasi monumental dan dalam banyak hal menunjukkan kecenderungan
karakteristik Gen Z di atas. Apa yang menjadi nilai tambah Gen Z dari ketujuh
karakter tersebut diatas pada pendidikan Islam? Ialah tawadhu`,
kerendah-hatian, dan tentu saja akhlakul karimah. Pada anak-anak yang memiliki
kemampuan dan prestasi monumental tersebut, mereka adalah anak-anak yang hafidz
Alquran dan setiap hari mengalami pendalaman materi akhlak mulia. Maka situasi
seperti apa yang bisa mengingkari keunggulan kompetitif dan komparatif Gen Z
Pendidikan Islam?
Kelas di Madrasah dan Lapisan
Generasi Pengisinya
Jika kita melihat kelas-kelas di
madrasah saat ini terdapat lapis generasi dengan masing-masing karakter dan
cara pandang yang berbeda dalam melihat dan mengalami era serbadigital. Saat
ini kelas-kelas tersebut banyak diisi oleh guru dari era generasi baby boomers
(lahir pada tahun 1940 - pertengahan 1960an), gen X ( pertengahan 60an - 1980),
gen Y/Millenials (1981 - 2000), dan ada siswa dari generasi Z (2001 -
sekarang). Perbedaan latar secara generasi ini menandai dan sejalan dengan
perkembangan teknologi digital itu sendiri. Sekitar dua dekade yang lalu Tim
Barnes Lee menjadi penanda zaman dengan kemampuannya menulis kode worl wide web
yang kemudian kita dengan mudah melihat dan memakainya hingga kini untuk setiap
alamat yang dituju di internet (www.). Jejaring internet menjadi jendela besar
bagi gerak peradaban, mengubah cara pandang dan cara mendapatkan informasi
dengan segala konsekuensinya. Gen Z lahir dalam nature seperti ini. Maka mereka
adalah digital native sebenarnya, sudah digital dari sononya, lahir dan
"dibesarkan" oleh peradaban digital dalam batas-batasnya.
Sementara itu, generasi sebelumnya
yang mendidik mereka adalah generasi digital immigrant, mereka adalah
"pendatang" dalam konteks peradaban digital karena memang lahir,
besar dan menjadi individu "paripurna" jauh sebelum gempita digital
dimulai. Tentu naif hanya melihat status "imigran" ini pararel dan
sama artinya dengan mereka yang tidak tahu apa-apa tentang teknologi digital
dan hal-hal terkait. Namun demikian, adalah hal yang tidak semestinya jika
mengabaikan gap native dan immigrant tersebut. Pada saat ini, eloknya guru mampu
menyadari bahwa siswa berkemungkinan memiliki akselerasi informasi dan
pengetahuan yang cepat dan seketika dengan bantuan teknologi digital. Dengan
bantuan penyedia layanan yang gratis, siswa bahkan bisa saja membuat kelas maya
(google class misalnya) yang terhubung satu sama lain dengan memakai simulasi
kelas belajar pada umumnya. Di luar kelas, pada dunia digital itu, siswa sangat
mudah mendapatkan asisten personal terkait pembelajaran mereka. Tentu saja
tidak semua bisa mengalami dan mengakses layanan seperti ini karena hal ini
terkait dengan kemampuan finansial dan ketersediaan jaringan yang diperlukan.
Di berbagai belahan daerah, kita tahu kondisi digital divide masih perlu
penangan serius.
Dimana Peran Guru?
Di tengah segala perkembangan
zaman dan kecanggihan teknologi yang meminggirkan peran manusia --dan dalam
banyak hal juga guru tersebut, lantas dimana sebenarnya peran yang masih
tersisa untuk guru? Guru madrasah, dengan pendekatan pembelajaran terkini,
bukan hanya didorong untuk menyemai tapi juga meningkatkan kaspasitas IQ
(intellectual quotient), EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient),
tapi juga AQ (adversity quotient). Guru madrasah memiliki tanggung jawab yang
besar untuk mendorong siswa mampu berpikir logis dan menalar (IQ). Dalam
menyampaikan berbagai pelajaran di madrasah, guru madrasah juga berkewajiban
untuk mampu memiliki kepekaan untuk mengenali diri sendiri, empati dan
pemahaman terhadap orang lain, memotivasi diri, mengelola emosi dengan baik dan
terutama sekali bagaimana berinteraksi dengan orang lain (EQ). Nilai-nilai
intrinsik dalam Alquran-Hadis, Fiqih, Aqidah Akhlak dan pelajaran agama lainnya
mampu menopang guru untuk menjadikan siswa menguatkan keyakinan adanya Allah
SWT dan semesta perbuatan manusia (SQ).
Namun demikian, segala yang
bersifat normatif dan mendorong capaian dan skala ukuran akademik tersebut
rasanya belum cukup pada bagaimana membentuk karakter dan kepribadian siswa,
belum memadai dalam menjadikan siswa sebagai pribadi yang siap menerima dan
memotivasi diri pada saat menerima nilai pelajaran yang kurang maksimal, pendek
kata belum cukup membekali siswa dalam menghadapai berbagai situasi sulit yang
dihadapinya secara personal. Pada peran seperti inilah guru tak tergantikan.
Namun demikian, peran penting dan
posisi strategis guru dalam proses pembelajaran tetap harus diupgrade dan
menyesuaikan diri dengan fenomena perkembangan serabdigital sebagaimana
tersebut diatas. Kerja (job) guru tidak akan hilang, namun pekerjaan (work)
guru menghadapi tantangan serius. Kontribusi dan peran guru sebagai penyampai
ilmu berbeda secara diametral dengan bagaimana cara kerja mesin memproduksi dan
mendorong sistem pengetahuan siswa. Pada guru, peran mulia untuk menanamkan
pendidikan karakter pada siswa tidak akan mampu digantikan oleh algoritma
piranti secanggih apapun. Namun hadirnya berbagai kemudahan untuk proses
pembelajaran siswa dalam rupa-rupa piranti teknologi digital bisa pelan-pelan
meminggirkan pekerjaan guru dalam proses pembelajaran.
Untuk itu pendekatan pembelajaran
yang lebih inklusif dan kolaboratif rasanya perlu dikedepankan. Inklusifitas
dan kolaborasi antara guru dan siswa akan memungkinkan kelas menjadi sebuah
arena pembelajaran yang menginsiparasi dan mendorong siswa untuk berani
mengeksplorasi potensi diri semaksimal mungkin. Dengan berbagai tuntutan
terkini yang serba cepat dan dinamis, guru dengan sendirinya dituntut untuk
bersikap disrupting ketimbang disrupted. Guru harus terbuka dan melek
perubahan, bukan menjadi korban dari perubahan itu sendiri.